Oleh : Nurhayati
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
a.
Pengertian
ISPA merupakan singkatan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadopsi dari istilah dalam bahasa
Inggris, yaitu Acute Respiratory
Infections (ARI). Penyakit ini menyerang salah satu bagian dan atau lebih
dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah) termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Prabu, 2009). Menurut Susi (2003), penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering
terjadi pada anak balita. Episode penyakit batuk pilek pada balita di diperkirakan sebesar tiga sampai enam kali per tahun,
karena sistem ketahanan
tubuh anak masih rendah. Infeksi saluran pernafasan atas mengakibatkan kematian
pada anak dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan kecacatan misalnya otitismedia yang
merupakan penyebab ketulian, Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada
anak kecil disebabkan infeksi saluran pernafasan bawah akut, paling sering
adalah pneumonia.
Menurut Justin, (2006) Istilah ISPA
mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian
atau batasan masing –masing unsur adalah
sebagai berikut :
1)
Infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2)
Saluran pernapasan
Adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan
demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran
pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa (sinus-sinus,
rongga telinga tengah) saluran pernafasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru-paru (alveoli) termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
3)
Infeksi akut
Adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari. Menurut Depkes RI (2002), pneumonia adalah radang paru akut dan merupakan
infeksi saluran pernafasan akut yang menimbulkan banyak kematian pada bayi dan
anak balita. Sedangkan, pneumonia balita adalah proses infeksi akut pada anak
balita yang mengenai jaringan paru yang ditandai dengan adanya demam, batuk dan
tanda atau gejala kesukaran bernafas seperti nafas cepat, tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam, atau gambaran radiologi dada menunjukkan infilrat paru
akut.
b.
Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit
ISPA menurut Susi (2003), dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan
untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun.
1)
Golongan Umur Kurang dari 2 Bulan
a)
Pneumonia
Berat
Bila disertai salah satu tanda napas cepat yaitu frekuensi pernapasan
sebanyak 60 kali permenit atau lebih disertai adanya penarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam.
Tanda klinis untuk pneumonia berat adalah:
(1)
Tidak mau menyusu
(2)
Kejang
(3)
Rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun
(4)
Demam (38oC atau lebih) atau suhu tubuh yang
rendah (di bawah 35,5OC)
(5)
Pernapasan cepat
(6)
Penarikan dinding dada cepat
(7)
Sianosis sentral
(8)
Serangan apnea
(9)
Abdomen tegang
Penanganan : segera bawa ke rumah sakit, beri oksigen (jika anak
mengalami sianosis sentral, tidak dapat minum, penarikan dinding dada yang
hebat, gelisah), berikan terapi antibiotik.
b)
Bukan
Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak disertai pernapasan cepat dan tanpa tanda pneumonia.
Penanganan : jaga bayi agar tetap hangat, berikan ASI sering, bersihkan
hidung jika ada sumbatan.
2)
Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
a)
Pneumonia sangat berat
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak sanggup minum, penarikan dinding dada.
Pengobatan untuk pneumonia sangat berat yaitu :
(1)
Rawat di rumah sakit
(2)
Berikan oksigen jika frekuensi pernapasan lebih dari 70
kali permenit, terdapat penarikan dinding dada hebat, atau gelisah.
(3)
Terapi antibiotik
Berikan kloramfenikol secara IM
setiap 6 jam. Apabila anak mengalami perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari),
pemberiannya diubah menjadi per oral. Berikan paling sedikit selama 10 hari.
Apabila kloramfenikol tidak tersedia berikan benzilpenisilin ditambah dengan
golongan aminoglikosida (contohnya gentamisin).
(4)
Obati demam
Beri parasetamol 10 sampai 15 mg per
kg berat badan, per oral setiap 6 jam, jika suhu aksila lebih dari 39oC.
(5)
Perawatan suportif
Tingkatkan pemberian makan dan minum,
bersihkan jalan nafas dan jaga suhu tubuh anak.
b)
Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tanpa disertai sianosis sentral dan juga anak masih sanggup minum.
Penanganan pneumonia berat adalah :
(1)
Rawat di rumah sakit
(2) Berikan
oksigen jika frekuensi pernafasan lebih dari 70 kali permenit, tedapat
penarikan dinding dada hebat, atau gelisah.
(3)
Terapi antibiotik
Berikan benzilpenisilin secara IM
setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari. Setelah anak membaik, ganti dengan
pemberian ampisilin atau amoksilin secara oral, atau suntikan penisilin prokain
per hari untuk menyelesaikan serangkaian pengobatan paling sedikit selama 5
hari. Pengobatan antibiotik sebaiknya diteruskan selama 3 hari setelah keadaan
anak membaik.
(4)
Obati demam
(5)
Perawatan suportif
c)
Pneumonia
Bila batuk atau kesulitan bernafas, pernafasan cepat
tanpa disertai penarikan dinding dada. Batas nafas cepat ialah :
(1)
Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau
lebih.
(2)
Untuk usia 1-5 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
Penanganan pneumonia adalah :
(1) Obati anak dirumah
(2) Terapi antibiotik
(3) Nasehati ibu untuk memberikan
perawatan di rumah yaitu dengan cara meningkatkan pemberian makan dan minum,
nasihati ibu untuk tidak menghangatkan anaknya secara berlebihan.
(4) Obati demam
d)
Bukan Pneumonia
Batuk atau kesulitan tanpa pernafasan cepat atau
penarikan dinding dada.
Penanganan ISPA bukan pneumonia adalah :
(1)
Obati di rumah
(2)
Terapi antibiotik sebaikya tidak dilakukan
(3)
Obati demam
(4)
Nasehati ibu untuk memberikan perawatan di rumah
c.
Etiologi
ISPA
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan riketsia yang masuk ke saluran nafas.
Bakteri penyebab ISPA antara lain genus Streptococcus, Staphylococcus,
Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebabnya
antara lain: golongan Mexovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Depkes RI, 2000).
Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, Sampah sebagai
bagian dari lingkungan, erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari
sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit
(bakteri patogen) dan juga binatang serangga (vektor). sampah yang menumpuk
dapat menjadi sumber penyakit saluran pencernaan seperti kolera dan disentri,
serta penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA (Depkes RI, 2002).
d.
Tanda dan gejala ISPA
Menurut Somantri (2007), tanda dan gejala gangguan sistem
pernafasan adalah :
1)
Batuk
Batuk merupakan gejala utama pada pasien dengan
gangguan sistem pernafasan. Tentukan batuk tersebut berdahak atau kering.
2)
Peningkatan produksi
sputum
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar
bersama dengan batuk atau tenggorokan.
3)
Dispnea
Dispnea merupakan suatu persepsi kesulitan bernafas
atau nafas pendek dan merupakan perasaan subyektif pasien.
4)
Nyeri dada
Nyeri dada dapat berhubungan dengan masalah
jantung dan paru-paru.
5)
Demam
e.
Penularan ISPA
Kuman penyakit ISPA
ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara pernafasan yang terjadi
tanpa kontak dengan penderita. Penularan melalui udara dapat terjadi dalam
bentuk droplet nuklei maupun dalam bentuk dust.
Droplet nuklei yang keluar melalui
mulut atau hidung baik waktu batuk atau bersin maupun waktu bicara atau
bernafas, mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Droplet nuklei merupakan partikel
yang sangat kecil sebagai sisa droplet yang mongering. Pembentukannya dapat
melalui berbagai cara, antara lain melalui evaporasi
droplet yang dibatukan atau yang dibersinkan ke udara, dapat juga terbentuk
dari areolisasi bakteri penyebab infeksi yang didalam laboratorium (Noor,
2000). Dust adalah bentuk partikel
dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi partikel yang terletak
dilantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama debu lantai/tanah
(Noor, 2000).
f.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ISPA
Secara umum terdapat
3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu
anak, serta faktor orang tua/perilaku.
1)
Faktor lingkungan
a)
Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap
hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal
ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur
terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak
balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih
lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tertunya
akan lebih tinggi.
Hasil penelitian
diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada
peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah
lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10
tahun.
b)
Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu
proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara
alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai
berikut :
(1)
Mengganti udara bersih yaitu udara yang mengandung
kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan.
(2)
Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun
debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
(3)
Mengganti panas agar hilangnya panas badan seimbang.
(4)
Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh
radiasi tubuh, kondisi, evaporasi, ataupun keadaan eksternal.
(5)
Mengatur suhu udara secara merata.
c)
Lantai rumah
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA
karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk
perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah
lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air
dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih
baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan.
d)
Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian
dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan
melancarkan aktivitas.
Keadaan tempat
tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.
Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari
bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat
sosial, dan pendidikan member korelasi yang tinggi pada faktor ini (Prabu,
2009).
2)
Faktor individu anak
a)
Umur Anak
Sujumlah studi yang
besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada
bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA
tertinggi pada umur 6-12 bulan.
b)
Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir
menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih
besar dibandingkan dengan berat badan normal, terutama pada bulan-bulan pertama
kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan
lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram
dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan
hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted
terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan (Anonim, 2007).
c)
Status Gizi
Anak balia merupakan
kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan
zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya (Sediaoetama,2006). Masukan
zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak
dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi kesehatan, tersedianya makanan
dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan
antara lain berdasarkan antropometri : berat badan lahir, panjang badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas.
Keadaan gizi buruk
muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa
penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dengan
infeksi paru, sehingga anak-anak yang gizinya buruk sering mendapat pneumonia.
Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan makanan bukan sekedar makanan,
tetapi makanan yang mengandung gizi atau zat gizi (Notoatmodjo, 2007). Balita
dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita
dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi
sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA
berat” bahkan serangannya lebih lama (Prabu, 2009).
d)
Vitamin A
Balita yang mendapat
vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah
mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6%
pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok control. Pemberian vitamin A yang
dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer
antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup
tinggi. Bila antibodi yang ditujukkan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar
antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya
perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak
terlalu singkat. Karena itu usaha masal pemberian vitamin A dan imunisasi
secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai
dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang
utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak
Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam
keadaan yang sebaik-baiknya.
e)
Status Imunisasi
Sebagian besar
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif saat ini ialah dengan pemberian imunisasi
campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11%
kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6%
kematian pneumonia dapat dicegah (Prabu, 2009).
3)
Faktor orang tua atau perilaku dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA
a)
Pendidikan ibu
Pengetahuan
seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan.
Pendidikan ibu yang rendah sangat mempengaruhi status kesehatan anak, dimana ibu yang pendidikan rendah kurang
mempunyai banyak wawasan tentang kesehatan terutama dalam menangani dan mencegah penyakit ISPA pada balita.
Pendidikan ibu adalah salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi
kejadian ISPA terutama pneumonia pada bayi dan balita (Prabu, 2009).
b)
Pendidikan ayah
Keluarga atau rumah
tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab itu untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari keluarga. Orang tua (ayah dan
ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan suatu penyakit. Orang tua yang memiliki
pendidikan yang rendah dalam menjaga kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka
kesehatan anggota keluarga terutama balita (Notoatmodjo, 2003).
c)
Pengetahuan ibu
Tingkat pengetahuan
ibu berperan besar terhadap kejadian ISPA balita. Hal ini berkaitan dengan
perilaku ibu dalam memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya
serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan yang tinggi dan
praktik pelayanan yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya
penurunan angka kesakitan dan kematian karena ISPA terutama pneumonia (Prabu,
2009).
Peran aktif keluarga
atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena ISPA merupakan
penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu
mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang
balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat
dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika
anaknya sakit (Prabu, 2009).
Keluarga perlu
mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari
pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak
balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan
dengan jelas bahwa pengetahuan dan peran keluarga dalam praktik penanganan dini
bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktik penanganan ISPA tingkat
keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang
ringan menjadi bertambah berat (Prabu, 2009).
d)
Sosial ekonomi
Faktor sosio-ekonomi
merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit pernafasan. Terdapat
hubungan korelasi negatif antara status social ekonomi dengan morbiditas
infeksi saluran nafas. Pada umumnya, status ekonomi yang berhubungan dengan
insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan
banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Prabu, 2009).
Kondisi ekonomi ikut
menentukan dalam pengelolaan ISPA. Masyarakat miskin identik dengan
ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar, balita yang hidup dalam
keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan
yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit (Prabu, 2009).
Sedangkan
faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA menurut Yasir
(2009) adalah :
(1)
Umur < 2 bulan
(2)
Gizi kurang
(3)
Berat badan lahir rendah
(4)
Tingkat pendidikan ibu yang rendah
(5)
Lingkungan rumah
(6)
Menderita penyakit kronis
(7)
Imunisasi yang tidak memadai
e)
Faktor perilaku pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
Faktor perilaku dalam
pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini
adalah praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun
anggota keluarga. Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting
karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam keluarga
atau masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena penyakit ini
banyak menyerang balita, sehingga anggota keluarga yang sebagian besar dekat
dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ketika anaknya
sakit (Prabu, 2009).
4)
Perilaku merokok
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream
sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream.
Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream
yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau
lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau
perokok terpaksa (Syahriyanti, 2010).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan
memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan
pernapasan, memperburuk asma dan dapat meningkatkan resiko untuk mendapat
serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih
mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia
dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok
merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin
di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di
paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2002).
g.
Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang
penting bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah
ISPA adalah (Yasir,2009) :
1)
Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
a)
Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI
adalah makanan yang paling baik untuk bayi,
b)
Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya
c)
Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup
yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak, vitamin
dan mineral
d)
Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal,
Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi
atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mineral dari
sayuran dan buah-buahan
e)
Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang
untuk mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa
apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan.
2)
Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi, agar memperoleh
kekebalan dalam tubuhnya, anak perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes
RI, 2002).imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit
pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas.
3)
Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan. Perilaku
hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA.
Sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan
berbagai penyakit. Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah
sehat, desa sehat dan lingkungan sehat.
4)
Pengobatan segera apabila anak sudah positif terserang
ISPA. Sebaiknya orang tua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa
sakit pada tenggorokan , misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung
vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis.
Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa kedokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar