Fakta dan Mitos Mengenai Imunisasi
Oleh : ULIYA HULUL AZMI
Sejak pemberian vaksinasi secara luas di Amerika Serikat,
jumlah kasus penyakit pada anak seperti campak dan pertusis (batuk rejan/batuk
seratus hari) turun hingga 95% lebih. Imunisasi telah melindungi anak-anak dari
penyakit mematikan dan telah menyelamatkan ribuan nyawa. Saat ini beberapa
penyakit sangat jarang timbul sehingga para orang tua kadang mempertanyakan
apakah vaksinasi masih diperlukan.
Anggapan yang keliru ini hanya salah satu dari kesalahpahaman
mengenai imunisasi. Kebenarannya adalah bahwa sebagian besar vaksin mampu
mencegah penyakit yang masih ada di dunia, walaupun angka kejadian penyakit
tersebut jarang. Vaksinasi masih sangat berperan penting dalam menjaga
kesehatan anak. Bacalah lebih lanjut tentang imunisasi secara lebih jelas dalam
uraian berikut!
Apa yang terjadi pada tubuh dengan imunisasi
Vaksin bekerja dengan mempersiapkan tubuh anak anda untuk
memerangi penyakit. Setiap suntikan imunisasi yang diberikan mengandung kuman
mati atau yang dilemahkan, atau bagian darinya, yang menyebabkan penyakit
tertentu. Tubuh anak anda akan dilatih untuk memerangi penyakit dengan membuat
antibodi yang mengenali bagian-bagian kuman secara spesifik. Kemudian akan
timbul respon tubuh yang menetap atau dalam jangka panjang. Jadi, ketika anak
terpapar pada penyakit yang sebenarnya, antibodi telah siap pada tempatnya dan
tubuh tahu cara memeranginya sehingga anak tidak jatuh sakit. Inilah yang
disebut sebagai imunitas (ketahanan tubuh terhadap penyakit tertentu).
Fakta dan mitos
Yang patut disayangkan, beberapa orang tua yang salah
mendapatkan informasi mengenai vaksin memutuskan untuk tidak memberikan
imunisasi pada anak mereka, akibatnya risiko anak tersebut untuk jatuh sakit
lebih besar.
Untuk lebih memahami keuntungan dan risiko dari vaksinasi,
berikut ini beberapa mitos umum yang ada di masyarakat dan faktanya.
- Imunisasi akan menimbulkan penyakit yang seharusnya ingin dicegah dengan vaksinasi pada anak saya
Adalah suatu hal yang mustahil untuk menderita penyakit dari
vaksin yang terbuat dari bakteri atau virus yang telah mati atau bagian dari
tubuh bakteri atau virus tersebut. Hanya imunisasi yang mengandung virus hidup
yang dilemahkan, seperti vaksin cacar air (varicella) atau vaksin campak,
gondong, dan rubela (MMR), yang mungkin dapat memberikan bentuk ringan dari
penyakit tersebut pada anak. Namun hal tersebut hampir selalu tidak lebih parah
dari sakit yang dialami jika seseorang terinfeksi oleh virus hidup yang
sebenarnya. Risiko timbulnya penyakit dari vaksinasi amatlah kecil.
- Jika semua anak lain yang berada di sekolah diimunisasi, tidak ada bahaya jika saya tidak mengimunisasi anak saya
Adalah benar bahwa kemungkinan seorang anak untuk menderita
penyakit akan rendah jika yang lainnya diimunisasi. Jika satu orang berpikir
demikian, kemungkinan orang lain pun akan berpikir hal yang sama. Dan tiap anak
yang tidak diimunisasi memberikan satu kesempatan lagi bagi penyakit menular
tersebut untuk menyebar.
- Imunisasi akan memberikan reaksi buruk pada anak saya
Reaksi umum yang paling sering terjadi akibat vaksinasi
adalah keadaan yang tidak berbahaya, seperti kemerahan dan pembengkakan pada
tempat suntikan, demam, dan ruam pada kulit. Walaupun pada kasus yang jarang
imunisasi dapat mencetuskan kejang dan reaksi alergi yang berat, risiko untuk
terjadinya hal tersebut sangat kecil dibandingkan risiko menderita penyakit
jika seorang anak tidak diimunisasi. Setiap tahunnya jutaan anak telah
divaksinasi secara aman, dan hampir semua dari mereka tidak mengalami efek
samping yang bermakna.
- Anak saya tidak perlu diiimunisasi karena penyakit tersebut telah dimusnahkan
Jika laju imunisasi menurun, penyakit yang dibawa oleh
seseorang yang datang dari negara lain dapat menimbulkan keadaan sakit yang
berat pada populasi yang tidak terlindungi dengan imunisasi.
- Anak saya tidak perlu diimunisasi jika ia sehat, aktif, dan makan dengan baik
Vaksinasi dimaksudkan untuk menjaga anak tetap sehat. Karena
vaksin bekerja dengan memberi perlindungan tubuh sebelum penyakit menyerang.
Jika anda menunda samapi anak anda sakit akan terlambat bagi vaksin untuk
bekerja. Waktu yang tepat untuk memberikan imunisasi pada anak anda adalah saat
ia dalam keadaan sehat.
- Imunitas hanya bertahan sebentar
Beberapa vaksin, seperti campak dan pemberian beberapa serial
vaksin hepatitis B, dapat menimbulkan kekebalan seumur hidup anda. Vaksin
lainnya, seperti tetanus, bertahan sampai beberapa tahun, membutuhkan suntikan
ulang dalam periode waktu tertentu (booster) agar dapat terus memberi
perlindungan untuk melawan penyakit. Dan beberapa vaksin, seperti pertusis,
akan semakin berkurang namun tidak memerlukan suntikan ulang (booster) karena
tidak berbahaya pada remaja dan dewasa. Penting untuk menyimpan catatan
pemberian suntikan imunisasi anak anda sehingga anda tahu kapan ia membutuhkan
suntikan ulang (booster).
- Fakta bahwa penelitian tentang vaksin masih terus berlanjut dan diperbaiki menunjukkan bahwa pemberiannya belum aman
Pusat pengawas obat dan makanan merupakan badan milik
pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengatur tentang vaksin di Amerika
Serikat. Bekerja sama dengan CDC dan The National Institutes of Health (NIH)
mereka meneruskan penelitian dan memonitor keamanan dan keefektifan pemberian
vaksin.
Surat ijin bagi vaksin baru dikeluarkan setelah dilakukan
penelitian laboratorium dan percobaan klinis, dan pengawasan keamanan tetap
berlanjut walaupun vaksin telah disetujui. Telah dilakukan dan akan terus
dilakukan perbaikan (misalnya seperti yang berlaku pada DtaP dan vaksin polio)
yang akan meminimalkan efek samping yang mungkin terjadi dan untuk menjamin
standar keamanan yang terbaik.
Informasi tambahan
Jelaslah bahwa vaksin adalah satu dari alat terbaik yang kita
miliki agar anak sehat, namun keberhasilan dan program imunisasi bergantung
pada ketersediaan. Anda bisa mendapatkan vaksin dengan harga murah atau gratis
melalui klinik kesehatan masyarakat dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas),
dan pada kampanye vaksinasi anak (misal pekan imunisasi anak).
Anda dapat mengunjungi situs-situs kesehatan lain untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai vaksinasi. Sumber informasi lainnya adalah dokter
anak anda. Bersama, anda dapat menjaga anak anda sehat dan ceria.
Salah Paham Mengenai Imunisasi
Timerosal mengakibatkan Autisme
Beberapa ilmuwan telah melemparkan wacana bahwa kandungan
merkuri dalam vaksin merupakan penyebab autisme dan anak yang menderita autisme
dianjurkan untuk menjalani terapi kelasi (chelation therapy, pemberian zat
khusus sebagai upaya “mengikat” merkuri agar tidak dapat bereaksi dengan
komponen sel tubuh) untuk detoksifikasi. Beberapa kasus telah dijadikan perkara
hukum yang disidangkan dan beberapa pengacara menyebarkan informasi di internet
untuk mendapatkan klien. Situasi ini semakin berkembang karena sampai sekarang
beberapa vaksin masih mengandung timerosal, zat pengawet yang mengandung
merkuri yang tidak digunakan lagi. Ada beberapa alasan mengapa kecemasan
mengenai timerosal dalam vaksin sebenarnya merupakan informasi yang
menyesatkan:
- Jumlah merkuri yang terkandung sangat kecil
- Tidak ada hubungan merkuri dan autisme yang terbukti
- Tidak ada alasan yang masuk akal untuk mempercayai bahwa autisme terjadi karena sebab keracunan
Timerosal telah digunakan sebagai pengawet pada makhluk hidup
dan vaksin sejak tahun 1930 karena dapat mencegah kontaminasi bakteri dan
jamur, terutama pada tabung yang digunakan untuk beberapa kali pemakaian. Pada
tahun 1999, FDA (Food and Drug Administration) memeriksa catatan bahwa dengan
bertambahnya jumlah vaksin yang dianjurkan pada bayi, jumlah total merkuri pada
vaksin yang mengandung timerosal dapat melebihi batas yang dianjurkan oleh badan
pengawas lain (1). Jumlah merkuri yang ditentukan oleh FDA memiliki batas aman
yang lebar, dan belum ada informasi mengenai bayi yang sakit akibatnya. Meski
demikian untuk berhati-hati, US Public Health Service dan the American Academy
of Pediatrics meminta dokter untuk meminimalkan paparan terhadap vaksin yang
mengandung timerosal dan kepada perusahaan pembuat vaksin untuk menghilangkan
timerosal dari vaksin sesegera mungkin (2). Pada pertengahan 2000 vaksin
hepatitis B dan meningitis bakterial yang bebas timerosal tersedia
luas.kombinasi vaksin difteri,pertusis, dan tetanus sekarang juga tersedia
tanpa timerosal. Vaksin MMR, cacar air, polio inaktif, dan konjugasi pneumokok
tidak pernah mengandung timerosal.
Sebelum adanya pembatasan, paparan maksimal kumulatif merkuri
pada anak dalam 6 bulan pertama kehidupan dapat mencapai 187,5 mikrogram
(rata-rata 1 mikrogram/hari). Pada formula vaksin yang baru paparan maksimal
kumulatif selama 6 bulan pertama kehidupan adalah tidak lebih dari 3 mikrogram
(3). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa batasan maksimal keduanya
memiliki efek toksik (keracunan).
Pusat pengawasan dan pencegahan penyakit (CDC) telah
membandingkan angka kejadian autisme dengan jumlah timerosal yang ada dalam
vaksin. Hasil menunjukkan bahwa tidak ada perubahan relatif angka kejadian
antara autisme dengan jumlah timerosal yang diterima anak dalam 6 bulan pertama
kehidupan (dari 0-160 mikrogram). Hubungan yang lemah ditemukan antara asupan
timerosal dan beberapa kelainan pertumbuhan saraf (seperti gangguan pemusatan
perhatian) pada satu penelitian saja, namun tidak terbukti pada penelitian
selanjutnya (4). Penelitian lain yang direncanakan sepertinya juga tidak akan
menunjukkan hubungan bermakna.
Komite Intitute of Medicine (IOM) yang telah menyebarkan
luaskan laporannya pada bulan Oktober 2001 menemukan tidak ada bukti hubungan
antara vaksin yang mengandung timerosal dan autisme, ggangguan pemusatan
perhatian, keterlambatan bicara dan bahasa, atau kelainan perkembangan saraf
lainnya (5)
Penggunaan terapi kelasi untuk penanganan anak yang menderita
autisme sama sekali tidak berhubungan.
PEMBERIAN SUSU FORMULA DIKAITKAN DENGAN DIARE
Oleh : Uliya Hulul Azmi
Terapi antiretroviral (ART)
profilaksis telah mengurangi kejadian penularan ibu-ke-bayi selama kehamilan
dan persalinan secara dramatis, tetapi virus dapat ditularkan melalui air susu
ibu.
Di negara maju, dengan ada jaminan
air bersih dan persediaan susu formula yang aman dan dapat diandalkan untuk
bayi, perempuan HIV-positif disarankan untuk tidak menyusui. Tetapi, di
rangkaian miskin sumber daya, WHO menyarankan untuk menyusui, terutama pada
enam bulan pertama, kecuali apabila pemberian susu formula “dapat diterima,
dimungkinkan, terjangkau, dan aman,” atau “AFASS ( acceptable, feasible,
affordable, sustainable, safe ).”
Dalam satu sesi tentang “Masalah
mendesak di dunia berkembang” pada konferensi CROIke-14 pada 25 Februari, Tracy
Creek dari Centers for Disease Control and Prevention, AS (CDC) menyampaikan
peninjauan tentang jangkitan diare di antara bayi di Botswana yang menyoroti
kebutuhan akan pertimbangan yang cermat mengenai keuntungan dan risiko terhadap
menyusui.
Di Botswana, pada 2005 hampir sepertiga
perempuan hamil terinfeksi HIV. Negara tersebut memiliki program yang
dikembangkan dengan baik untuk mencegah penularan ibu-ke-bayi, dan 80 persen
perempuan hamil yang HIV-positif menerima sedikitnya AZT. Ibu HIV-positif juga
menerima susu formula cukup untuk 12 bulan secara gratis dari klinik.
Botswana mengalami periode curah
hujan yang sangat tinggi pada November 2005, dan pada Januari 2006, petugas
kesehatan masyarakat mulai melihat peningkatan diare pada anak. Kasus meningkat
empat kali lipat, dari sekitar 8500 pada 2004 menjadi lebih dari 35.000.
Sementara itu kematian meningkat lebih dari 20 kali lipat dari 24 menjadi
hampir 530. Pada Maret, petugas kesehatan mencatat kejadian sekunder yaitu
kekurangan gizi pada bayi. Wabah diare berhenti awal April.
Contoh tinja dari anak yang dirawat
di rumah sakit karena diare menunjukkan bahwa 60 persen terinfeksi
kriptosporidium, 50 persen E.coli , 38 persen Salmonela, dan 17 persen
Sigela; banyak yang dengan beragam patogen.
Penyelidikan epidemiologi terhadap
wabah ini mengungkapkan bahwa sebagian besar bayi yang menderita diare tidak
disusui. Dr. Creek melaporkan dalam analisis multivariat, tidak menyusui
merupakan “prediktor terkuat” terhadap diare pada bayi, meningkatkan risiko 50
kali lipat. Menggambarkan besarnya jangkitan tersebut, dalam satu desa,
sepertiga bayi yang diberi susu formula meninggal akibat diare, tetapi tidak
satupun yang disusui.
Pada kelompok sub penelitian terhadap
153 bayi dengan diare, 93 persen tidak disusui (kira-kira tiga perempatnya
diberi susu formula dan 25 persen diberi susu sapi). Tetapi hanya 65 persen ibu
yang HIV-positif, menunjukkan bahwa terjadi “kelolosan” dalam pemberian susu
formula pada yang tidak terinfeksi HIV. Di antara bayi, 18 persen HIV-positif.
Beberapa ibu melaporkan bahwa klinik tidak mampu menyediakan cukup susu formula
secara gratis. Kwashiorkor – sebuah bentuk kekurangan gizi pada anak terkait
dengan kekurangan asupan protein – adalah satu-satunya prediktor kematian yang
bermakna, bukan status HIV ibu atau bayi.
Setelah presentasi tersebut, Peggy
Henderson dari WHO mengkaji ulang manfaat dan risiko menyusui pada ibu yang
HIV-positif. Sejak terakhir kalinya WHO mengeluarkan saran tentang pemberian
makanan pada 2000, telah terkumpul bukti yang menunjukkan bahwa menyusui bayi
secara ekslusif selama enam bulan pertama terkait dengan penularan HIV yang
lebih rendah dibandingkan gabungan antara menyusui dengan pemberian susu
formula, penghentian pemberian air susu ibu dikaitkan dengan diare dan
peningkatan mortalitas pada bayi terpanjan HIV, dan menyusui lebih dari enam
bulan tampak meningkatkan ketahanan hidup bayi. Sebagai tambahan, perempuan
yang memakai ART sepertinya mempunyai kemungkinan lebih rendah menularkan HIV
melalui air susu ibu, meskipun penelitian tersebut belum selesai.
Pada Oktober 2006, HIV and Infant
Feeding Technical Consultation menyepakati pernyataan yang menekankan bahwa
pilihan pemberian makanan yang paling tepat untuk ibu HIV-positif tergantung
pada keadaan masing-masing individu.
Dalam kesimpulannya, Dr. Henderson
menekankan pentingnya untuk “melindungi” dan mendorong pemberian air susu ibu
oleh perempuan yang tidak terinfeksi HIV. Lebih lanjut, semakin banyak bukti –
misalnya seperti yang disediakan oleh kejadian Botswana – memberi kesan bahwa
di antara perempuan HIV-positif, manfaat pemberian air susu ibu sering
melampaui risiko penularan HIV (kira-kira satu persen per bulan), terutama
apabila sang ibu memiliki jumlah CD4 yang tinggi dan menerima ART.
maaf mba saya boleg nge posting dari sini juga ga? cuma untuk tugas kuliah aja ko :)
BalasHapusTERIMAKASIH ATAS INFONYA ,,,
Hapushttps://yvc-i-gc012.blogspot.co.id/
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKunjungi blog tentang Artikel Kesehatan
BalasHapushttp://divtrans1nwu.blogspot.com/
Kunjungi juga Blog'Ku tentang Ilmu Kebidanan
BalasHapushttp://bidanpuspa.blogspot.com/
Untuk Anda Bidan atau Dokter yang memerlukan Informasi Pelatihan USG silahkan kunjungi:
BalasHapuswww.pelatihanusgbidan.com
www.pelatihanusg.info
www.pelatihanusgkebidanan.org
www.pelatihanusgbidandokter.com
www.pelatihanusg.org
www.kursuspelatihanusg-bidandokter.com
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbuat mahasiswa kebidanan yang membutuhkan makalah untuk penunjang tugas kunjungi aja
BalasHapushttp://warungbidan.blogspot.com/
untuk temen-temen mahasiswa kebidanan bisa juga kunjungi ke alamat ini , http://fdrahayu.blogspot.co.id/ untuk menambah informasi lebih, terima kasih :)
BalasHapus